UPDATEBALI.com, BULELENG – Nawur Penempuh merupakan tradisi adat dari Desa Suwug, dimana pada tradisi ini ditujukan untuk wanita asli desa suwug yang sudah menikah dan sudah dianggap mampu dalam aspek kesejahteraanya.
Tradisi upacara Nawur Penempuh ini dilakukan oleh pihak keluarga besar pengantin pria dan juga diikuti keluarga dari wanita asal desa selat ketika mereka sudah memiliki kehidupan yang mapan. Persembahan yang dihaturkan pun disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi.
I Wayan Nawa yang sekarang menjabat sebagai Majelis Desa Adat Buleleng menerangkan bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang tidak wajib untuk dilaksanakan, dimana banyak orang yang salah kaprah mengenai hal tersebut.

Saat diwawancarai oleh Mega Dwi Astari, I Wayan Nawa menegaskan bahwa tradisi ini tidak tertulis di awig awig Desa Adat Suwug, yang dimana beliau menerangkan jika dicatat didalam awig awig beliau takut ini akan membebankan orang orang, khususnya laki laki yang ingin menikahi wanita asli Suwug, I Wayan Nawa hanya ingin memberikan kesan yang baik mengenai tradisi ini kepada masyarakat luar.
Tidak diwajibkan bukan berarti tradisi ini boleh ditinggalkan. Sesepuh desa suwug juga mengharapkan agar penduduk desa bisa tetap menghargai dan mewarisi tradisi ini. Karena pada hakikatnya kita sebagai umat hindu harus memiliki kesadaran sendiri untuk melaksanakan tradisi dengan meyadnya.
Hubungan tradisi dan spiritual tidak bisa dipisahkan, dimana ritual merupakan bagian yang penting dari tradisi. Tradisi adalah warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, sementara ritual adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan sesuai dengan tradisi tersebut untuk merayakannya atau mempertahankan nilai-nilai tertentu. Jadi, keduanya saling melengkapi dalam mewujudkan dan menjaga identitas budaya.
Begitu pula dengan pelaksanaan Nuwur Penempuh ini,tidak terlepas dari sarana spiritualnya. Sarana spiritual yang utama adalah bantal alem, di Desa Adat Badung kita sering mengenalnya dengan sebutan tipat bantal sedangkan warga suwug menyebutnya dengan sebutan bantal alem.
Bantal alem ini dikatakan sebagai simbol wiwaha, yang bermakna perkawinan. Selain bantal alem, sarana dan prasarana banten pelengkap lainnya disesuaikan dengan kebutuhan keluarga. Yang diamana nantinya sarana dan prasarana ini akan dihaturkan di Pura Desa.
Adapun makna spiritual dari tradisi ini adalah sebagai ucapan rasa syukur dan bakti kehadapan sang pencipta karena telah tercapainyaa tujuan pawiwahan, mulai dari aspek ekonomi, kesejahteraan keluarga, kesehatan, dan keharmonisan
Makna diambil dari runtutan acara tradisi ini, dimana menurut keterangan Klian Desa Pakraman Suwug, I Wayan Nawa terdapat tiga tahapan prosesi upacara persembahan yang wajib diikuti oleh krama desa adat di tiga Pura secara berturut-turut, yakni prosesi upacara di Pura Lebah, kemudian di Pura Agung Menasa dan puncak acara berakhir pada prosesi upacara Nawur Penempuh yang dilaksanakan di Pura Desa setempat. Dan upacara terakhir yaitu upacara Pegat Seet, upacara ini dikatakan sebagai sarana pemutus yang dimana itu berarti tuntas (pegat benang), dalam makna spriritual upacara ini berarti memutus satu hubungan dengan membuat hubungan baru dan memulai tujuan baru lagi.
Penulis : Mega Dwi Astari
STAHN Mpu Kuturan Singaraja Prodi ilmu Komunikasi