Senin, Maret 10, 2025
BerandaOpini dan ArtikelPura Meduwe Karang Bergelar Cagar Budaya Nasional

Pura Meduwe Karang Bergelar Cagar Budaya Nasional

UPDATEBALI.com, BULELENG – Pura Meduwe Karang di Desa Pakraman Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng merupakan tempat suci umat Hindu yang menjadi salah satu warisan cagar budaya nasional di daerah Bali Utara.

Selain menjadi tempat pelaksanaan upacara, pura ini juga telah menjadi obyek wisata religi yang banyak menerima kunjungan dari wisatawan lokal untuk tujuan melakukan penelitian dan wisatawan mancanegara yang menjadikan pura ini sebagai salah satu opsi destinasi wisata agama dan kebudayaan.

Arsitektur bangunan pura yang menakjubkan telah berdiri kokoh selama lebih dari satu abad. Pura Meduwe Karang menjadi saksi bisu dari sejarah, ritual, dan kehidupan masyarakat disekitarnya.

Ketika berkendara melewati Jalan Raya Air Sanih sekilas terlihat penampakan pura dari pinggir jalan dengan barisan patung tokoh-tokoh dalam Epos Ramayana yang berjumlah 86 arca. Pada bagian sisi barat pura terdapat 52 arca di tepi jalan raya dan 34 arca pada bagian depan pura tepat pada dua bagian pintu masuk pura.

Patung-patung ini berusia 16 tahun terhitung sejak pembangunannya pada tahun 2007. Barisan arca tokoh dalam wiracarita Ramayana ini membuat takjub mata memandang karena kedetailan ukiran patung yang disusun apik pada penataran Pura Meduwe Karang.

Dari sisi arsitektur bangunan kawasan ini menyajikan nuansa keagamaan yang kental dengan keberagaman arca dan relief bertemakan tokoh Ramayana serta beberapa relief khusus yang menarik minat dan perhatian para pengunjung untuk mencari tahu asal muasal serta makna dari relief-relief di bagian dalam Pura yang tidak biasa.

Suasana siang hari di kawasan pura tidak terlalu panas dan cukup menyejukkan karena terdapat taman hijau dengan beragam pohon dan bunga serta terdapat wantilan di sisi kiri area untuk tempat pengunjung berteduh atau beristirahat sambil menikmati suasana menenangkan dengan nuansa spiritual.

Baca Juga:  Melasti di Desa Kubutambahan Merupakan Tradisi yang Sangat Sakral

Berada pada ketinggian 26 mdpl, tempat suci umat hindu ini berjarak kurang lebih 12 km dari Kota Singaraja.

Luas tanah areal Pura Meduwe Karang adalah 60 Are dengan panjang kawasan 120 m dan lebar kawasan 50 m. Tepat pada bagian depan pura terdapat fasilitas desa berupa ruang parkir untuk para pengunjung. Pura ini juga berada di dekat perumahan warga sehingga keberadaan pura sangat mudah ditemukan dengan akses jalan yang berbatasan langsung dengan jalan raya.

Struktur bangunan tempat suci umat Hindu pada umumnya mengusung konsep Tri Mandala sama halnya dengan Pura Meduwe Karang yang terbagi atas Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala atau yang umumnya disebut jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan. Pura ini dikelola oleh pihak Desa Pakraman Kubutambahan dibawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Memiliki dua suku kata, nama pura ini memiliki makna yang khas. Meduwe memiliki arti mempunyai dan karang yang berarti tanah atau tegalan, sehingga Meduwe Karang artinya mempunyai tanah atau tegalan. Apabila Pura Meduwe Karang digabungkan memiliki makna sebuah pura yang erat kaitannya dengan tanah kering atau tegalan.

Pura Meduwe Karang digunakan untuk memuja Ratu Panaban Sari yang dikenal sebagai dewi ibu atau dewi kesuburan. Dengan demikian Pura Meduwe Karang termasuk Pura Subak Abian yang dapat pula difungsikan sebagai tempat pemujaan masyarakat pemilik lahan pertanian.

Baca Juga:  Wawali Arya Wibawa Hadiri Upacara Nuasen di Pura Taman Buitan

Salah satu pengemong di Pura Meduwe Karang, Komang Sutayana mengatakan keberadaan pura ini adalah satu-satunya di pulau Bali tepatnya di wilayah Kubutambahan. Pura ini juga merupakan penungun karang (pelinggih pelindung) Desa Pakraman Kubutambahan.

Pura ini tergolong tua, sudah ada sejak masa penjajahan Belanda pada tahun 1890. Ada nuansa berbeda saat mengunjungi areal pura terutama pada bagian utama Mandala atau jeroan yang masih memperhatikan arsitektur dahulu dengan relief unik dan ukiran patung pada Pelinggih yang megah terhitung sejak pemugaran terakhir pada tahun 1981/1982.

Dinobatkan sebagai salah satu cagar budaya, bukan tanpa alasan. Pura ini terkenal dengan makna sejarah dan arsitekturnya. Sebagai salah satu situs warisan budaya Pura Meduwe Karang merupakan identitas budaya masyarakat setempat dengan ciri fisik, struktur batu, dan halaman bertingkat pada bagian jeroan Pura. Pura meduwe karang telah berusia lebih dari 50 tahun, terhitung sudah berusia 133 tahun ditambah keberadaan relief yang mengelilingi Pelinggih di bagian utama mandala yang sarat akan nilai budaya menjadi faktor utama.

Membicarakan tentang relief pada arsitektur Pura Meduwe Karang tidak hanya satu jenis melainkan lebih dari satu pahatan. Sebagai Pura agraris, Pura Meduwe Karang memiliki relief kamasutra dibagian depan dan belakang pelinggih. Di sisi kiri dan kanan pelinggih terdapat relief Raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti, relief seorang ibu dengan dua anak, relief tokoh cerita Ramayana, dan relief yang menjadi ikon dari pura ini adalah relief sosok laki-laki berpakaian adat bali sedang menaiki sepeda ontel beroda bunga pada roda bagian belakang sepeda.

Baca Juga:  Bupati Tabanan Hadiri Rangkaian Karya Ngenteg Linggih Pura Beji Desa Adat Peneng

Pada pemugaran pura di tahun 1904 seorang seniman asal Belanda Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp atau dikenal dengan W.O.J. Nieuwenkamp mengunjungi Pura Meduwe Karang dan turut memberikan sumbangan dalam proses pembangunan. W.O.J. Nieuwenkamp memberikan masukan untuk dibuatkan pahatan berupa relief pada dinding pelinggih Pura. Salah satu relief yang menjadi ikon dari Pura Meduwe Karang adalah relief seorang laki-laki menaiki sepeda, relief ini merupakan W.O.J. Nieuwenkamp itu sendiri yang mengendarai sepeda untuk mengelilingi daerah Bali kala itu.

Keunikan dari relief laki-laki menaiki sepeda ini paling banyak diminati sekaligus dijadikan sebagai obyek kajian penelitian. Para wisatawan asing khususnya dari negeri kincir angin, belanda langsung mencari posisi relief ini. Secara keseluruhan relief-relief pada dinding pelinggih Pura Meduwe Karang rampung pada tahun 1935.

“Disebut cagar budaya karena ada relief sepeda yang dibuat waktu pemugaran jaman belanda, ada tamu yang membuat kenang-kenangan untuk pura ini saat nanti jadi tempat wisata,”ujar Komang Sutayana.

Ditetapkan sebagai cagar budaya menjadikan kawasan Pura Meduwe Karang sebagai pusat penelitian dengan kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Menjadi tempat pemujaan masyarakat pakraman desa kubutambahan, Pura Meduwe Karang masih terjaga kelestarian dan kesakralan di kawasan pura terutama untuk kepentingan proses ritual keagamaan yang telah menjadi identitas budaya masyarakat setempat.

Penulis : Ni Putu Devira Reysa Kasindradani

Mahasiswi dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja

BERITA TERKAIT
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments