Senin, Maret 10, 2025
BerandaBaliSejarah dan Filosofi Pagerwesi, Warisan Hindu yang Tetap Lestari

Sejarah dan Filosofi Pagerwesi, Warisan Hindu yang Tetap Lestari

UPDATEBALI.comBULELENGHari Suci Pagerwesi merupakan salah satu hari suci umat Hindu yang jatuh setiap 210 hari berdasarkan sistem wariga.

Hari ini merupakan perpaduan dari Urip Budha Kliwon dan wuku Pagerwesi, yang memiliki makna mendalam bagi umat Hindu, terutama di Buleleng. Perayaan Pagerwesi di setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda, namun di Buleleng, perayaan ini memiliki nilai sejarah dan spiritualitas yang kuat.

Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd., menjelaskan bahwa konsep Pagerwesi di Buleleng erat kaitannya dengan sejarah daerah tersebut sejak masa Hindia Belanda.

“Buleleng adalah pusat ibu kota yang disebut dengan Sunda Kecil, di mana kerajaan-kerajaan Hindu pernah berjaya. Pagerwesi di Buleleng menjadi bentuk penghormatan terhadap sejarah dan kehidupan di masa lalu,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya pada Selasa, 11 Februari 2025.

Sejarah dan Makna Pagerwesi di Buleleng

Menurut Irma, perkembangan ajaran Hindu di Buleleng terbagi ke dalam dua wilayah geografis. Di Buleleng bagian timur berkembang ajaran Siwa Pasupata yang menekankan pemujaan terhadap Siwa sebagai pusat spiritual, serta teknik persembahan untuk menyeimbangkan Tri Guna (Satwika, Rajasika, dan Tamasika). Sementara itu, di Buleleng bagian barat, ajaran Buddha Mahayana lebih menonjol dengan konsep kasih sayang dalam pemuliaan Sang Pencipta.

Baca Juga:  Ratusan Pejabat Struktural di Jembrana Disetarakan Menjadi Fungsional

Sejarah ini menunjukkan bahwa masyarakat Buleleng merayakan Pagerwesi dengan semangat yang tinggi, layaknya perayaan Hari Suci Galungan. Bagi umat Hindu di daerah ini, Pagerwesi adalah bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Pramesti Guru, yang mengajarkan pentingnya pengendalian diri terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri) dan Sapta Timira (tujuh kegelapan batin). Ritual pemotongan hewan yang dilakukan dalam upacara simbolik juga diyakini sebagai upaya untuk menyeimbangkan unsur kehidupan serta meningkatkan derajat hewan dalam konsep karma yoga.

Pagerwesi dan Penguatan Spiritual

Pagerwesi berasal dari kata “pager” yang berarti pagar dan “wesi” yang berarti besi, yang melambangkan pertahanan diri dengan ilmu pengetahuan dan spiritualitas agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Perayaan ini juga memiliki kaitan erat dengan Hari Saraswati, karena setelah memperoleh ilmu pengetahuan, manusia perlu memperkuat diri agar tidak tersesat dalam kebodohan dan ketidaktahuan (ajñana).

Baca Juga:  Pembentukan Perarem Pengendalian Rabies Pertama di Bali

Di kawasan Sunda Kecil (Bali, Nusa Tenggara, dan sekitarnya), Pagerwesi telah lama dikenal sebagai hari pemujaan kepada Sang Hyang Pramesti Guru, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Guru Agung. Dalam ajaran Siwa Siddhanta, Siwa Guru dianggap sebagai sumber kebijaksanaan tertinggi, sehingga perayaan Pagerwesi memiliki akar kuat dalam nilai-nilai spiritual Hindu.

Di Buleleng, Pagerwesi memiliki makna khusus sebagai hari besar keagamaan yang lebih menekankan pada kekuatan spiritual dan perlindungan diri. Hal ini mengingat sejarah daerah tersebut yang kaya akan pengaruh intelektual dan spiritual dari para Brahmana dan Bhujangga Waisnawa.

Tradisi Unik Perayaan Pagerwesi di Buleleng

Perayaan Pagerwesi di Buleleng ditandai dengan berbagai tradisi khas, antara lain:

  1. Upacara di Pura Jagatnatha Singaraja dan pura-pura desa sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Pramesti Guru.
  2. Pemujaan leluhur melalui persembahyangan di merajan atau sanggah.
  3. Kunjungan ke setra (pemakaman), di mana warga membawa punjungan untuk harmonisasi dengan para Pitara (roh leluhur) sesuai dengan tradisi masing-masing.
Baca Juga:  Bupati Tamba : Koperasi Harus Siap Bersaing

Menurut Irma, Pagerwesi adalah momentum untuk menyadarkan diri tentang pentingnya memagari diri dengan nilai-nilai luhur warisan leluhur Nusantara. Konsep ini selaras dengan ajaran Tri Hita Karana, yang mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.

“Pagerwesi bukan sekadar perayaan rutin, tetapi merupakan kesempatan untuk memperkuat benteng spiritual, sebagaimana Arjuna yang dipandu oleh Sri Krishna dalam pustaka suci Bhagavad Gita. Perayaan khas di Buleleng mencerminkan upaya masyarakat dalam menjaga warisan leluhur serta memperkuat spiritualitas di tengah perubahan zaman,” tutup Irma.(adv/ub)

BERITA TERKAIT
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments