Jumat, April 25, 2025
BerandaBaliMuseum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Melestarikan Warisan Budaya Bali Tempo Dulu

Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Melestarikan Warisan Budaya Bali Tempo Dulu

UPDATEBALI.com, KARANGASEM – Apabila kita mengunjungi Bali ke bagian timur, khususnya di Kabupaten Karangasem, kita akan menemukan suasana yang kental dengan tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal.

Di Desa Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, terdapat sebuah museum sederhana bernama Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban.

Jarak yang perlu ditempuh oleh wisatawan dari pusat Kota Denpasar adalah sekitar 68,8 km untuk melihat ratusan catatan literasi dengan usia ratusan tahun dalam bentuk naskah lontar yang disimpan di museum ini.

Lontar pada umumnya adalah daun yang berasal dari pohon tal atau enau. Masyarakat Bali pada zaman dahulu menggunakan daun ini sebagai bahan utama dalam pembuatan naskah manuskrip. Sebelum digunakan untuk menyalin naskah, daun tal dikeringkan terlebih dahulu. Setelah dikeringkan, daun tersebut dapat digunakan untuk menulis dengan menggunakan aksara Bali, yang kemudian menjadi catatan yang dikenal sekarang sebagai lontar.

Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban didirikan dengan alasan yang menarik. I Nengah Suarya, penggagas dan inisiator Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, menjelaskan alasan berdirinya museum ini. Saat ia menjabat sebagai bendesa adat, ia melihat masalah yang terjadi di Desa Dukuh Penaban dari tahun ke tahun, terutama generasi muda yang pergi merantau ke luar daerah karena faktor ekonomi.

Desa Dukuh Penaban sendiri membutuhkan regenerasi untuk melestarikan warisan tradisi, budaya, dan kearifan lokal seperti lontar.

Oleh karena itu, Suarya merasa tertantang untuk membangun sebuah tempat yang berfungsi sebagai upaya pelestarian lontar, agar lontar tidak punah terlupakan.

Suarya dan tetua masyarakat lainnya percaya bahwa lontar adalah catatan dari masa lalu yang berisi informasi penting.

Museum ini merupakan hasil kerja sama antara Suarya dan rekannya, Dewa, yang merupakan pelestari lontar. Pada April 2017, masyarakat mulai mendeklarasikan Desa Dukuh Penaban sebagai desa wisata dengan Museum Pustaka Lontar sebagai ikonnya. Pada Agustus 2017, masyarakat desa mulai melakukan penataan bangunan museum. Pembangunan museum dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat adat setempat dan didanai melalui sistem donasi dari berbagai pihak.

Baca Juga:  Listrik Andal di Bali, UP2D Percepat Pemulihan Gangguan Secara Real-Time

Museum ini memiliki keterikatan yang kuat dengan desa wisata yang melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal. Selain lontar, museum ini juga memperhatikan berbagai tradisi, seperti tarian sakral, ritual, dan kuliner lawar daun jepun, yang menjadi daya tarik untuk menjadi desa wisata.

Museum ini saat ini dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa dengan memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dari dalam masyarakat Dukuh Penaban. Kelompok sadar wisata (pokdarwis) desa bertanggung jawab atas tujuh unsur Sapta Pesona wisata, yaitu keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan.

Untuk masuk ke kawasan museum, wisatawan hanya perlu memberikan donasi seikhlasnya di kotak yang telah disediakan. Mayoritas pengunjung museum berasal dari mancanegara yang ingin belajar budaya asli Bali.

Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Dukuh Penaban dan Ketua Forkom Wisata Kabupaten Karangasem, Nengah Sudana Wiryawan, menjelaskan bahwa donasi dari pengunjung digunakan untuk perawatan bangunan dan koleksi museum.

Keunikan museum ini terlihat saat pengunjung memasuki area museum. Mereka disambut oleh hamparan lahan hijau yang ditanami pohon kelapa, menciptakan suasana pedesaan yang asri. Suasana alam desa tersebut dipadukan dengan konsep bangunan yang dirancang secara klasik dan tradisional, menggunakan tumpukan tanah dan batu dengan atap dari jerami kering. Dengan tampilan seperti itu, pengunjung seolah-olah dibawa kembali ke masa lalu Bali.

Baca Juga:  Juara Berprestasi Lomba PKB XLV 2023, Bupati Sanjaya Mendorong Semangat Seniman Tabanan

Museum ini mengusung konsep bangunan “Bali mula” atau Bali masa lalu. Konsep bangunan tersebut dipilih untuk sesuai dengan upaya pelestarian adat, termasuk gaya bangunan dan bahan materialnya. Pemimpin desa dan masyarakat sengaja tidak menggunakan beton agar tidak mengubah struktur tanah dan tidak menebang pohon. Mereka peduli terhadap pelestarian budaya dan lingkungan, sehingga menghindari pemangkasan pohon.

Di dalam museum, terdapat Bale Sangkul Putih yang berfungsi sebagai tempat aktivitas dan penyimpanan lontar. Ada juga wantilan di bagian atas museum yang digunakan oleh warga untuk berbagai kegiatan.

Konsep bangunan klasik yang dikelilingi oleh pepohonan rindang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisatawan yang bosan dengan keramaian kota dan kemacetan di ibu kota dapat menikmati kedamaian suasana desa. Mereka juga berkesempatan melihat karya lontar kuno dan belajar tentang aksara Bali, termasuk praktik menulis di atas daun lontar.

Selain itu, wisatawan yang berkunjung juga disuguhi minuman herbal yang terbuat dari tanaman obat yang tumbuh di sekitar museum. Minuman ini merupakan salah satu bentuk dari isi Lontar Usada mengenai minuman tradisional. Minuman tersebut terbuat dari bawang adas yang tumbuh di sekitar museum dan disajikan sebagai “welcome drink” bagi pengunjung. Minuman tersebut telah diuji di laboratorium dan kaya akan unsur antioksidan yang baik untuk kesehatan.

Museum ini memiliki koleksi lontar yang beragam. Di Bale Sangkul Putih terdapat Bale Daja yang digunakan untuk menyimpan lontar-lontar kuno. Di sebelah kanan pintu masuk Bale Daja terdapat gantungan lontar yang merupakanTulisan-tulisan dari para pengunjung museum sebagai bentuk apresiasi dan kenang-kenangan.

Saat ini, jumlah lontar yang sudah didata di museum ini mencapai 313 bendel lontar dengan berbagai klasifikasi. Namun, masih banyak lontar lain yang belum terdata karena keterbatasan sumber daya manusia yang ahli. Oleh karena itu, pengelola museum sedang gencar melakukan proses pendataan.

Baca Juga:  Gubernur Koster Terima Dokumen Undang-Undang Provinsi Bali dari Ketua Komisi II DPR RI

Koleksi lontar di museum ini meliputi berbagai jenis, seperti Lontar Usada yang membahas pengobatan tradisional, Lontar Babad yang berisi silsilah atau sejarah Bali, Lontar Asta Kosala Kosali yang berkaitan dengan arsitektur dan tata letak bangunan suci atau rumah, Lontar Asta Brata yang membahas kepemimpinan, Lontar Dharma Caruban yang berbicara tentang kuliner, Lontar Dolanan tentang permainan, Lontar Dharma Pemaculan tentang pertanian, Lontar Kakawin yang menjelaskan cerita Ramayana dan Mahabharata, serta banyak lagi.

Museum ini juga memiliki koleksi lontar tertua yang berumur sekitar 400 tahun yang disebut Lontar Bhuana Kosa yang menceritakan tentang Bumi sebelum adanya kehidupan. Namun, lontar ini tidak disimpan di Bale Daja, melainkan di pura. Ada juga Lontar Kawisesaan Sasak yang berumur 150 tahun, yang berisi hikayat nabi pada Suku Sasak.

Di tengah perkembangan digital, museum ini juga mengikuti arus modernisasi dengan mendigitalkan sekitar 160 lontar yang telah dicapai.

Hingga saat ini, isi dari lontar kuno tersebut masih menjadi pedoman bagi masyarakat Hindu di Bali. Tujuan utama dibangunnya museum ini adalah sebagai tempat pembelajaran bagi masyarakat dalam rangka melestarikan warisan budaya leluhur dalam bentuk karya manuskrip masa lalu.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem bertanggung jawab dalam pengelolaan museum ini dan melibatkan pengelola dalam berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah daerah juga turut berperan dalam upaya pelestarian budaya tradisi dengan mempromosikan keberadaan museum. (ub/ant)

BERITA TERKAIT

Most Popular

Recent Comments