UPDATEBALI.com, BANGLI – Meningkatnya harga beras dan ubi yang tak kalah mahalnya, kini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif yang lebih terjangkau. Salah satu alternatif yang menjadi primadona adalah cacah, yang biasa digunakan sebagai campuran dalam nasi. Namun, ironisnya, para perajin cacah di daerah ini menghadapi kendala dalam memenuhi permintaan yang semakin melonjak.
Salah seorang perajin cacah terkemuka di Banjar, Ni Ketut Mudari, mengungkapkan bahwa cacah masih diminati oleh masyarakat, terutama di tengah kenaikan drastis harga beras.
“Satu plastik kecil cacah kami jual seharga Rp 3.000 per bungkus, sedangkan untuk 1 kilogramnya dijual dengan harga Rp 30.000. Banyak pedagang nasi di pasar yang membeli cacah dari kami,” ujarnya.
Namun, dengan meningkatnya permintaan, Ni Ketut Mudari dan rekan-rekannya merasa kewalahan. Mereka hanya mampu mengolah 8 kilogram ubi per hari karena masih memproduksi secara manual. Meskipun peminatnya banyak, produksi terbatas ini menjadi kendala yang mereka hadapi.
Proses pembuatan cacah sendiri, menurut Ni Ketut Mudari, sebenarnya tidak terlalu rumit. Ubi dipotong kecil-kecil dan kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Dalam cuaca panas, dalam waktu dua hari, ubi tersebut sudah kering dan menjadi cacah yang siap untuk dikemas dalam kantong plastik.
Namun, ada kendala lain yang kerap menghambat produksi cacah, yaitu cuaca.
“Jika cuaca tidak mendukung dengan sinar matahari yang cukup, kami tidak bisa menghasilkan cacah dengan kualitas yang bagus. Terkadang, ubi yang dipotong bahkan bisa busuk dan harus digunakan sebagai pakan untuk babi,” tambah Ni Ketut Mudari.
Kenaikan harga beras dan ubi memang mendorong masyarakat untuk mencari alternatif, seperti cacah. Namun, para perajin cacah di Banjar harus mengatasi kendala produksi dan cuaca yang tidak selalu bersahabat agar tetap dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat. (put/ub)