UPDATEBALI.com, BULELENG – Hari Suci Saraswati sebagai momentum pemuliaan ilmu pengetahuan memiliki makna mendalam bagi umat Hindu, terutama yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan keilmuan.
Tidak hanya sekolah, kampus, dan kantor-kantor yang merayakan, tetapi lebih luas, Saraswati diyakini sebagai cikal bakal yang menjadikan kehidupan lebih mulia. Ilmu pengetahuan (guna) menjadi dasar bagi seseorang untuk mencapai kehidupan profesional (gina) dan pada akhirnya kesejahteraan (dana).
Demikian disampaikan oleh I Kadek Satria, S.Ag, M.Pd.H, selaku Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng, saat ditemui di ruang kerjanya pada Sabtu, 8 Februari 2025.
Secara etimologis, Saraswati berasal dari kata “Saras” yang berarti sesuatu yang mengalir dan ucapan, serta “Wati” yang berarti memiliki. Dengan demikian, Saraswati dapat diartikan sebagai yang memiliki sifat mengalir dan merupakan sumber ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.
“Bukankah dengan ilmu pengetahuan kita akan menjadi lebih bijak? Itulah yang menjadi pemahaman kita selama ini,” ujar Kadek Satria.
Dalam ajaran Tri Murti, Sang Hyang Saraswati adalah Sakti dari Sang Hyang Brahma. Ia diyakini menciptakan alam semesta dengan ilmu pengetahuan, sehingga dikenal sebagai Sang Hyangning Pangaweruh. Oleh karena itu, aksara menjadi satu-satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati, yang kemudian diwujudkan dalam sarana upacara seperti jaje Saraswati yang berbentuk aksara Ongkara.
Hari Saraswati yang jatuh pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung merupakan waktu pemujaan bagi umat Hindu untuk mensyukuri turunnya ilmu pengetahuan. Dalam pelaksanaannya, pemujaan dilakukan sebelum tengah hari. Pada perayaan ini, umat tidak diperkenankan membaca atau menulis sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Saraswati.
“Namun setelah pemujaan, pemuliaan ilmu pengetahuan wajib dilakukan dengan mempelajari dan mendiskusikannya dalam rembug sastra,” jelasnya.
Dari sudut pandang upakara, peringatan Saraswati dilakukan dengan mengatur pustaka keagamaan dan buku-buku ilmu pengetahuan pada tempat yang layak, baik di rumah, sekolah, maupun kampus.
Upakara yang digunakan meliputi Banten Saraswati, Sodaan Putih Kuning, dan canang selengkapnya. Tirta Saraswati yang digunakan dalam upacara diperoleh dengan memohon ke hadapan Hyang Surya di tempat suci masing-masing.
Pelaksanaan hari suci ini secara garis besar dimulai dengan penghaturan pesucian, ngayabang aturan, muspa, dan matirta. Upakara Saraswati Puja berlangsung hingga keesokan harinya, yang dikenal sebagai Banyupinaruh atau Pina Wruh pada Redite Paing Sinta.
Pada pagi hari, umat melaksanakan asuci laksana dengan mandi, keramas, dan menggunakan air kumkuman. Setelah itu, dilakukan penghaturan labaan nasi pradnyan, jamu sad rasa, dan air kumkuman, yang kemudian dilanjutkan dengan nunas kumkuman, muspa, dan matirta sebagai penutup rangkaian upacara.
“Yang paling umum kita lihat, masyarakat melakukan pemujaan di sekolah dan kampus, serta kepada orang-orang pintar atau balian. Hal ini karena Saraswati dikaitkan dengan taksu, yang diyakini sebagai sumber ketaksuan guna mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Sebagai bagian dari tradisi, sebagian umat Hindu juga melakukan ritual Banyupinaruh dengan mandi di sumber-sumber air. Ritual ini diyakini sebagai langkah baik dalam pemuliaan ilmu pengetahuan.
“Rahajeng Nyanggra lan Ngelaksanayang Rahina Suci Saraswati bagi semeton sedharma, mogi rahayu,” tutupnya.(adv/ub)