UPDATEBALI.com, BENGKAYANG – Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 29 Juni. Hari tersebut merupakan momentum yang baik untuk memaknai betapa pentingnya peran keluarga dalam tumbuh kembang seorang anak.
Saat ditemui di ruang prakteknya, Psikolog Anak dan Keluarga, Agatha Sagita Ria, S.Psi., M.Psi, menyampaikan, bahwa keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak. Sehingga kehadiran keluarga memiliki peranan yang penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak.
Menurut Psikolog lulusan S2 Profesi Universitas Gajah Mada ini, dalam menjalankan fungsinya, keluarga sendiri harus memiliki pondasi yang kuat untuk membangun sebuah ketahanan keluarga.
“Ibaratnya membangun sebuah rumah, tidak pernah diawali dengan membangun jendelanya dulu atau atapnya dulu, tentulah yang pertama kali diperhatikan dan dipersiapkan adalah pondasinya. Nah kualitas pondasi inilah yang menentukan kualitas dari rumah tersebut. Demikian pula halnya saat kita membangun keluarga, harus ada pondasi yang kuat demi terwujudnya keluarga yang kokoh dan memiliki ketahanan keluarga,” jelas Psikolog Gita, yg akrab disapa sehari-hari.
Apa saja pondasi dalam membangun keluarga. Ia menyebutkan bahwa ada tiga pondasi dalam keluarga yakni relasi, komunikasi dan bahasa kasih.
“Penting keluarga harus memiliki relasi yang sehat, relasi tidak hanya antara anak dan orangtua, namun juga sesame orang tua yakni relasi suami dan istri, jangan ciptakan orang baik dan orang jahat dalam keluarga,” ucapnya.
Relasi yang baik lanjut Gita, Suami istri harus kompak dan sepakat. Misal saja saat ibu melarang anak tidak boleh bermain gadget, tolong ayah jangan sampai mengijinkan. Ayah dan Ibu juga harus bisa saling menghargai, tidak boleh saling menjelek-jelekkan depan anak.
“Seperti ‘nak, lihat ibumu ngomel-ngomel melulu’, atau ‘nak, bangunkan ayahmu yang pemalas kenapa sudah siang begini masih tidur,” tuturnya.
Demikian pula dalam hal komunikasi, melalui siarannya di Radio RRI tahun 2021 silam, ia menyampaikan dalam komunikasi harus ada keterbukaan, penerimaan dan rasa percaya antar sesama anggota keluarga. Selain itu, Gita juga menambahkan bahwa orangtua harus bisa menjadi sahabat anak agar bisa sefrekuensi dengan anak.
“masuk ke dunia anak, cari kesenangannya, tunjukkan penerimaan agar ia nyaman dekat dengan kita. Kalau sudah nyaman kan anak menjadi lebih mudah terbuka,”katanya.
Kemudian ia juga mengingatkan agar respon orangtua tidak negatif saat anak terbuka mengenai kesalahannya.
“Ketika anak jujur tentang kesalahannya jangan dimarahkan, meskipun tidak sesuai ekspektasi kita , karena ke depan anak cenderung tidak akan mau jujur lagi. jadi kalau anak sudah bersedia jujur, walau jujurnya itu mengakui kesalahan, diterima saja, dan jangan lupa diapresiasi, karena ia sudah mau berkata jujur, barulah perlahan kita nasehati dan anak juga harus sering-sering diajak omong bukan diomongin,” imbuhnya.
Keluarga yang seyogyanya merupakan tempat memberikan rasa aman dan nyaman, harus dimulai dari orangtua yang menunjukkan penerimaan pada anak sekalipun dengan berbagai macam perilaku menantangnya.
Selanjutnya Gita juga menerangkan, ada unsur penting lain yang menjadi pondasi dalam keluarga yakni memahami bahasa kasih masing-masing anggota keluarga. Karena setiap anggota keluarga mungkin saja memiliki bahasa kasih yang berbeda-beda. Ia menjelaskan, bahwa Gary Chapman, Ph.D., dalam bukunya The 5 Love Languages: The Secret to Love That Lasts, mengungkapkan lima gaya unik dalam mengkomunikasikan cinta yang dikenal dengan Lima bahasa kasih / love languages dimana digambarkan ada lima cara orang dalam menerima dan mengekspresikan cinta pada suatu hubungan.
“Mengetahui bahasa kasih dari pasangan kita dan memberi tahu mereka bahasa kasih kita dapat membantu kita dan pasangan merasa dicintai dan dihargai,” ujarnya.
Adapun lima bahasa kasih tersebut antara lain kata-kata penegasan (words of affirmation) berupa pujian atau apresiasi, waktu yang berkualitas (quality time), sentuhan fisik (physical touch) seperti pelukan atau sekedar bergandengan tangan, tindakan nyata (acts of service), dan yang terakhir menerima hadiah (receiving gifts).
Ada kasus dimana seorang istri sering mendapatkan pujian dari suami, mendapatkan sentuhan fisik, dibantu dalam tugas rumahnya, dan selalu punya waktu berkualitas bersama namun istri tetap merasa tidak dicintai karena ternyata ketika digali bahasa kasihnya adalah menerima hadiah dan sebaliknya istri yang sering mendapatkan hadiah, pujian dan sentuhan pun bisa saja tidak merasa dicintai karena suaminya ternyata jarang menghabiskan waktu bersama akibat kesibukannya.
Pada beberapa kasus juga, istri dengan bahasa kasih words of affirmation merasa tidak dicintai suaminya lantaran sang suami belum pernah mengatakan langsung kalau ia mencintai istrinya begitu juga saat suaminya berbuat salah, sang suami tidak pernah menyampaikan kata-kata permohonan maaf.
“Untuk itu penting dalam membangun keluarga, kita saling mencari tahu bahasa kasih pasangan kita atau anak kita agar sesama anggota keluarga dapat merasa dicintai dan dihargai,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang baik ini, Psikolog yang bertugas sehari-hari sebagai ASN di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang ini juga mengajak para orangtua untuk menjadikan harganas sebagai momentum menanamkan kebiasaan baik pada anak. Cara lebih cepat membuat anak terbiasa dengan kebiasaan baik bila orangtua memberi contoh. Karena menurutnya, kebiasaan baik tidak bisa diharapkan muncul begitu saja, lingkunganlah yang membentuknya. Jika anak melihat orang tuanya suka memberi atau senang berbagi maka tentunya anak pun akan demikian.
Selain itu, Gita juga menambahkan, sesuai namanya, Harganas dapat dirayakan bersama keluarga. Namun tidak semua orang beruntung memiliki keluarga yang utuh. Momen yang baik ini, Gita mengajak putra semata wayangnya melakukan kebiasaan yang baik dalam merayakan harganas dengan mengunjungi salah satu Panti Asuhan di Kota Bengkayang.
“Perayaan tidak harus besar dan megah, mulai saja dari hal-hal sederhana namun bermakna. Sebelum menanamkan kebiasaan baik jangan lupa jelaskan kepada anak mengapa penting hal tersebut dilakukan agar anak paham mengenai maknanya. Karena dalam menerapkan sebuah kebiasaan anak belajar dengan cara meniru, mengulangi dan mengenali pola-pola serta keteraturan dari pengalaman yang dialaminya sehari-hari. Untuk itu diperlukan lingkungan yang kondusif dalam membantu proses pembentukan kebiasaan baik pada anak,” terang Gita.
Untuk itu, ia mengajarkan putra semata wayangnya memiliki semangat berbagi kepada sesama khususnya kepada sesama yang membutuhkan. Melalui uang jajan yang dijadikan modal untuk jualan kue, ia menganjurkan anaknya untuk mendonasikan keuntungan penjualannya tersebut berikut dengan modalnya.
“ya, saya melihat ini sebagai momen yang baik untuk melatih dan membentuk kebiasaan baik pada anak. Sambil belajar berwirausaha, saya mengajak anak untuk berdonasi. Hasil keuntungan berikut modal yang ia punya kemudian didonasikan ke panti asuhan dalam bentuk makanan siap saji. Mungkin tak seberapa namun saya yakin akan bermakna, akan menjadi pengalaman berharga yang tak kan terlupakan oleh anak saya,” papar Gita.
Kemudian di akhir wawancara, tak lupa ia mengucapkan Selamat Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke 30 tahun 2023.
“Tidak semua orang beruntung memiliki keluarga yang utuh namun kita bisa menjadi keluarga bagi sesama kita yg membutuhkan. Selamat Hari Keluarga Nasional yang ke 30 untuk seluruh keluarga di Indonesia,” tutupnya. (ati/ub)