UPDATEBALI.com, JEMBRANA – Warga Masyarakat Gilimanuk, Jembrana yang terhimpun dalam Aliansi Masyarakat Peduli Tanah Gilimanuk (AMPTAG), Sabtu (19/11/2022) menolak solusi yang disarankan oleh pemerintah pusat, agar masyarakat Gilimanuk diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemkab Jembrana. Sehingga, untuk Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak.
Hal tersebut disampaikan langsung Kordinator Aliansi Masyarakat Peduli Tanah Gilimanuk (AMPTAG), I Gede Bangun Nusantara, saat dikonfirmasi UpdateBali melalui sambungan telepon, Sabtu (19/11/2021).
Baca juga:
Wujudkan Indonesia Sehat, Astra di Bali Gelar Festival Kesehatan Astra 2022 dalam Perayaan HUT ke-65
"Jelas menolak kita. Jadi menolak keras untuk itu, karena apa ? Kalau seandainya memang tidak di mungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, kami tidak akan menolak kami akan ikut. Tetapi kan peraturan perundang undangan jelas menyatakan bahwa itu boleh. Nah kalau itu boleh, berarti masyarakat harusnya di perhatikan," tegasnya.
Menurutnya, pertemuan tripartit yang di gelar di kantor DPRD Jembrana antara Pemerintah daerah, pansus 3 DPRD dan AMPTAG perwakilan masyarakat Gilimanuk pada Jumat (18/11) lalu terkesan stagnan. Bahkan hasil resume yang dibacakan oleh Kabag Hukum Setda Jembrana, berupa saran solusi dari pemerintah pusat yakni Kementerian Dalam Negeri dan ATR/BPN saat eksekutif diundang pembahasan di Jakarta beberapa waktu lalu bukan merupakan progres kemajuan, justru kemunduran.
Gede Bangun mengatakan, padahal sudah jelas sebelumnya bahwa hanya tinggal menentukan pihak lain yang berhak menerima hibah dari Pemkab Jembrana ini. Menurutnya, seharusnya sudah clear, penerimanya adalah masyarakat yang menempati saat ini.
"Tapi ini semakin mundur. Nah pihak lain ini, di dalam penjelasan umum itu sudah jelas, diluar dari departemen, lembaga dan pemerintah daerah. Tapi ini masih jadi bahan untuk mengulur ngulur waktu, karena penawaran mereka masih tetap seperti sekarang. Saya tidak tahu lagi, semestinya sudah clear," ucapnya.
Karena menurutnya, kejelasan tersebut dibuktikan dengan masyarakat yang memiliki sejumlah bukti seperti bayar sewa dan bayar pajak. Namun, ternyata kesannya seolah-olah pengalihan dari HGB menjadi SHM tidak mungkin dilakukan.
Dia berharap, pihak pansus DPRD diminta untuk segera memanggil ahli hukum tata negara, agar bisa segera dipastikan siapa pihak lain yang bisa menerima tanah yang dihibahkan Pemkab Jembrana. Menurutnya, pemerintah pusat juga memberikan saran untuk bisa diselesaikan di tingkat bawah (Pemkab dan masyarakat). Pusat hanya mengusulkan tidak merekomendasikan.
"Yang menentukan adalah Bupati menyerahkan atau memberi hibah ke masyarakat dengan persetujuan DPRD. Jadi bukan Pusat yang menentukan, mereka hanya menerima laporan dari bawah saja," jelasnya.
Disinggung mengenai kelanjutan dari perjuangan AMPTAG untuk tanah Gilimanuk bersertifikat, Gede Bangun menjawab, pihaknya akan langsung bergerak sendiri. Namun, sebelumnya pihaknya akan minta pendapat hukum untuk menentukan langkah langkah selanjutnya.
"Jadi kami akan bergerak sendiri. Kami akan ke pusat lagi, ke Depdagri dan ke ATR/BPN. Jadi kami akan meminta kepastian sendiri. Karena kalau mengharapkan Pemkab sudah tidak mungkin," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Pansus 3 DPRD Jembrana, I Ketut Suastika mengakui pihaknya hanya membantu melihat celah hukum agar aspirasi masyarakat terkait tanah Gilimanuk bisa menjadi SHM. Menurutnya, ada beberapa peraturan yang menjadi celah hukum seperti Permendagri 19 tahun 2016, kemudian juga PP 18 tahun 2021 tentang hak pengelolaan. "Untuk yang kedua maksudnya adalah pemerintah menyerahkan secara sukarela dan masyarakat sebagai pemohon. Sebenarnya clear bagi saya sebagai Ketua Pansus. Sehingga ini bisa kita diskusikan," kata pria yang akrab disapa Cuhok.
Dari hasil koordinasi ke pusat, lanjut Cuhok, mendapat saran agar permasalahan ini diselesaikan di tingkat bawah (masyarakat dan pemerintah). Artinya, tinggal menunggu keputusan dari Bupati Jembrana untuk menyerahkan barang (tanah) atau aset milik daerah tersebut. Kemendagri hanya memberikan tanggapan atas konsensus yang sudah dikakukan antara Bupati, Pemerintah dan DPRD. "Keputusan hukum dan politik harus menjadi kesatuan untuk kesejahteraan masyarakat," pungkasnya.
Untuk diketahui Gilimanuk adalah tanah negara yang dikelola oleh Pemkab Jembrana sejak tahun 1992 dalam bentuk HPL. Kemudian Pemkab Jembrana yang memiliki HPL menyewakan kepada masyarakat dalam bentuk HGB.
Namun kemudian, setelah puluhan tahun warga menempati tanah, warga menuntut hak milik atas tanah yang ditempati. Persoalan tanah Gilimanuk ini sudah cukup lama. Bahkan sudah puluhan tahun diperjuangkan sampai saat ini belum ada kepastian.
Baca juga:
Tiga Mahasiswa Prodii Teknologi Pangan Raih Juara 2 Lomba Poster dalam Ajang Nasional 'Macaron'
Sekitar 2500 kepala keluarga (KK), warga Gilimanuk berharap agar tanah HPL Gilimanuk segera menjadi hak milik masyarakat. Masyarakat Gilimanuk ingin status tanah di Gilimanuk dinaikkan dari HPL yang disewakan pada mayarakat dengan HGB menjadi hak sepenuhnya masyarakat menjadi SHM.
Tuntutan sudah disampaikan kepada DPRD Jembrana, sebelum proses menjadikan hak milik, warga meminta agar pemerintah daerah melepas status HPL atas tanah yang ditempati warga. Setelah melepas HPL, maka akan menjadi status tanah negara sepenuhnya. Selanjutnya, warga yang akan memohon pada pemerintah pusat agar tanah negara dijadikan hak milik warga.(nal/ub)