Senin, Maret 10, 2025
BerandaNewsSrikandi di Hadapan Pertiwi, Kesetaraan Gender dalam Hukum Adat Bali

Srikandi di Hadapan Pertiwi, Kesetaraan Gender dalam Hukum Adat Bali

 

UPDATEBALI.com, BANGLI – Masih sering terdengar pertanyaan mengulik bagi kaum wanita seperti: "Mau jadi ibu rumah tangga atau bekerja?, Kalau bekerja nanti anak-anak sama siapa?" Pertanyaan-pertanyaan yang lazim dan lumrah didengar kaum hawa, tapi bahkan tak pernah dilontarkan untuk kaum pria. Seolah seorang wanita dihadapkan pada pilihan dalam hidupnya dan harus mengorbankan yang lainnya. Wanita yang ingin sukses dianggap egois dan mengesampingkan keluarganya sedangkan wanita yang mengabdi pada keluarga cenderung mengorbankan bakat dan impiannya. Padahal setiap wanita bahkan bisa mengambil lebih dari dua peran tersebut. Wanita dapat tetap bekerja untuk mendapat kehidupan dan penghidupan yang layak, merawat dan membesarkan anak-anaknya, berbhakti dan mengabdi pada suami dan keluarganya, namun tidak meninggalkan ikatan pada keluarga serta turut serta melaksanakan tanggung jawab secara adat khususnya adat bali.

Ketika seorang perempuan bekerja dan berusaha mengejar mimpi ada banyak factor yang cenderung menghalangi seperti norma, adat, kodrat, stereotipe bahkan hukum positif. Beberapa penelitian seperti bersumber dari World Bank, Women, Business and the Law Tahun 2008 mengatakan ada 104 negara di Dunia di Undang-undangnya yangn mencegah perempuan bekerja di pekerjaan tertentu, 18 Negara lainnya bahkan memiliki aturan yang memberi peluang laki-laki untuk mencegah isterinya untuk bekerja, Secara global terdapat 2,7 milyard perempuan yang secara hukum dilarang memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik pada Bulan Agustus Tahun 2019, dari 100 orang Wanita yang masuk usia produktif hanya 51-52 wanita yang masuk pada Angkatan kerja bandingkan dengan laki-laki yang mencapai 83 orang.  Kesetaraan yang digadang-gadang sejak era Kartini namun pelaksanaannya belumlah optimal hingga saat ini. 

Baca Juga:  Pemkab Buleleng Tegaskan Komitmen Sebagai Kabupaten Kreatif Nasional dan Dunia

Hukum adat bali, pada umumnya dilandasi oleh spirit moral agama Hindu. Dilihat dari sudut moral agama Hindu, perempuan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan adalah setara, dan harus bersatu dan bekerjasama dengan erat sebagai dwi tunggal. Seperti halnya para Dewa yang digambarkan memiliki pasangan dan menempatkan Dewinya sebagai Sakti (kekuatannya). Tentang kedudukan perempuan, seperti digambarkan dalam Kitab Suci Manawa Dharmacastra Bab.III. sloka 58 dan 59.
58: “ Bagi setiap keluarga yang tidak menghormati kaum perempuan, niscaya keluarga itu akan hancur lebur berantakan. Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengungkapkan kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”
59. “ Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghormati perempuan kitab suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”.

Manu Smerti menggambarkan status perempuan dan laki-laki adalah sama (Manawa Darmacastra IX, 96):
” Untuk menjadi ibu perempuan diciptakan, dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan, karena itu upacara keagamaan ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan oleh suami dan istrinya.

Baca Juga:  Bupati Sedana Arta Buka Lomba Cipta Menu Berbasis Sumber Pangan Lokal

96.”Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” Manu Smerti mengumpamakan perempuan diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah da laki-laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam menciptakan kehidupan.
    
 Dari Kutipan-kutipan diatas secara ide atau filosophy yang mendasari hukum adat di Bali terlihat jelas keseimbangan dari pengakuan akan gender akan tetapi terjadi bias pada tatanan norma. Bagaimanapun dalam sistim kekeluargaan patrilinial prioritas utama pasti pada anaklaki-laki. Itu tak bisa dipungkiri. Arogansi laki-laki diakui atau tidak, pasti ada dansangat mungkin terjadi dan sistim ini dengan jelas memberi dasar melahirkan kekuasaan pada kali-laki. 

Menurut para penulis dalam buku Menggugat Harmoni, kenyataan ketidakadilan gender (kekerasan terhadap perempuan / istri), ternyata tidak mutlak dipengaruhi oleh sistim, kekeluargaan, pendidikan ataupun, tingkat kesejahteraan. Kekerasan terhadap istri/perempuan bisa terjadi dalam kalangan intelektual, buruh, tani, pengusaha dan lain-lain, baik di Eropa, Asia atau Indonesia, di mana budaya patriarkhi ( dominasi kekuasaan laki-laki) masih sangat dominan.

Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah berakar dari “budaya
dominasi laki-laki” atau “budaya patriakhi”.
Dalam struktur dominasi ini kekerasan sering kali digunakan oleh laki-laki untuk:
• memenangkan perbedaan pendapat,
• untuk menyatakan rasa tidak puas, dan
• kadangkala untuk mendemonstrasikan dominasi semata-mata

Baca Juga:  Presiden Instruksikan Daerah-daerah Tiru TPST Seperti di Bali

Sedangkan terkait hak waris, Hukum Adat Bali di bidang kekeluargaan dan waris terutama hak untuk mewaris diutamakan pada anak laki-laki. Pengertian warisan di Bali berbeda dengan warisan dalam hukum barat yang hanya bersifat material dan juga bisa ditolak oleh pewaris, warisan menurut pengertian hukum adat bali mengandung kewajiban dan hak baik bersifat material maupun immaterial. Laki-laki Bali menerima kewajiban sebanding dengan hak-haknya demikian juga anak perempuan tidak memiliki hak dan tidak pula memiliki kewajiban. Bila prinsip “Equality” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kesetaraan (tidak harus sama), maka hukum adat bali telah mengatur kesetaraan hak dan kewajiban antara anak laki-laki dan perempuan.

Sebagai penutup kesetaraan bukan berarti kesamaan, bukan berarti harus menuntut hak yang sama karena kodrat kita berbeda, tapi setara adalah saling mendukung dan melengkapi dalam satu goals atau tujuan. Jika diibaratkan bagai pertandingan ada yang berperan menjadi Captain Team ada yang sebagai cadangan. Jadi dalam suksesnya seorang perempuan mencapai kesetaraan ada suport sistem yang baik dari pasangan, keluarga dan lingkungan yang mendukung.

Oleh : Luh Putu Pertamawati Armony,S.H,M.H.

BERITA TERKAIT
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments